Jumat, 25 Februari 2011

laskar pelangi

ga setelah menonton filmnya di hari kedua.
Secara keseluruhan film ini sangat bagus. Ceritanya cukup menggugah emosi dan gambar-gambar yang ditampilkan cukup membuat anakku berdecak kagum, “Emang itu di Indonesia Pa?, kok bagus amat? Emang ada tempat seperti itu di Indonesia?” Dan sejumlah pertanyaan lainnya yang membuatku kewalahan melayaninya. Memang harus diakui, bahwa pengambilan gambarnya sangat bagus, sehingga lokasi yang biasa-biasa saja terlihat sangat eksotis.
Karena aku tidak punya kapasitas dalam hal sinematografi, maka secara pandangan awam aku menyatakan suka dengan film ini. Meski aku juga harus jujur mengatakan bahwa visualitas yang ditinggalkannya di benakku setelah film ini berakhir tidak sekuat apa yang ditinggalkan film Ayat-Ayat Cinta. Kesan yang ditimbulkannya di hatiku tidak begitu dalam. Soundtrtacknya sepertinya tidak membuat film ini menjadi sesuatu yang bisa dikenang lama. Semoga aku salah!
Walaupun begitu, aku tetap menyatakan bahwa film ini wajib ditonton oleh semua khalayak, terutama para pelajar kota, orangtua dan praktisi pendidikan. Film ini berusaha menunjukkan bahwa keterbatasan bukanlah halangan untuk meraih cita-cita. Kunci utamanya ada pada diri kita; mau atau tidak?
Guru Luar Biasa = Murid Luar Biasa
Pak Harfan dan Bu Muslimah adalah dua orang guru yang luar biasa. Tekad mereka untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak tersebut telah mengalahkan pandangan keduniawian mereka. Sepertinya harta benda bukanlah tujuan utama. Mereka tetap bertahan di sekolah tersebut meski nyawa menjadi taruhannya.
Semangat itulah yang mereka tularkan kepada anak-anak hebat tersebut. Satu pesan Pak Harfan yang membuatku terkesan adalah: “Berilah sebanyak-banyaknya dan jangan minta sebanyak-banyaknya“. Tampak sebuah dorongan semangat keikhlasan yang luar biasa yang beliau tularkan kepada para Laskar Pelangi tersebut.
Kaya Ilmu = Kaya Harta
Lintang seorang anak nelayan miskin yang telah ditinggal ibunya untuk selamanya, memberi inspirasi semangat keilmuan bagiku. Meski harus menjaga adik-adiknya, tapi dia tetap bersemangat berangkat menuju sekolah reotnya yang berjarak hampir 80 km. Bahkan, di tengah jalanpun dia harus berbagi jalan dengan seekor buaya muara. Prinsipnya; “Untuk keluar dari segala kemelaratan ini, aku harus pintar dan berilmu…!”
Meski tekadnya untuk menuntut ilmu harus berhenti di tengah jalan karena kematian menjemput ayahnya, tapi semangat keilmuan itu tetap dia pertahankan. Di masa dewasanya, semangat itu dia tularkan kepada putrinya. Sungguh sebuah perjuangan yang luar biasa.
Kritikan Untuk Muhammadiyah
Secara tidak langsung, film ini telah mengangkat nama Muhammadiyah. Dengan dijadikannya sekolah Muhammadiyah sebagai lokasinya, tentu saja membuat nama Muhammadiyah semakin dikenal orang. Tapi, bagiku ini merupakan sebuah kritikan hebat bagi Muhammadiyah.
Melalui film itu sepertinya terlihat bagaimana tidak pedulinya pimpinan Muhammadiyah dari tingkat cabang sampai pusat dengan keadaan sekolah yang sudah nyaris rubuh tersebut. Pertanyaanku, apakah di masa itu tidak ada koordinasi maupun pengawasan dari pihak Muhammadiyah, sehingga membiarkan sekolah itu berjalan seperti itu? Entahlah!
Tapi yang pasti, pengalamanku belasan tahun yang lalu menunjukkan kebenaran kegelisahanku. Ketika aku dan beberapa kawan merintis sebuah sekolah dengan label Muhammadiyah di tengah hutan di sebuah desa terpencil di kota kaya minyak, Duri Riau, menunjukkan kebenaran ini. Di masa awal perintisan, sedikitpun kami tidak mendapat perhatian dari pimpinan Muhammadiyah. Tapi, begitu keberhasilan mulai nampak, berduyun-duyun mereka mendatangi kami dan memperkenalkan diri sebagai orang Muhammadiyah. Hah… film ini menggugah kembali memoriku yang indah sekaligus pahit bersama sekolah Muhammadiyah. Ya, aku pernah pada posisi Pak Harfan dan  Bu Muslimah…
Akhirnya, dengan segala kekurangannya, aku tetap merekomendasikan film ini untuk ditonton. Sungguh, inspirasi yang ditunjukkan film ini akan dapat menggugah kita. Semoga film ini tidak berhenti sampai di sini. Kita tunggu kelanjutan sekuelnya, semoga…!
Be the first to like this post.
12 Komentar leave one →
  1. September 27, 2008 12:57 pm
    Yg saya pahami ttg Muhammadiyah, juga dr novel ‘Laskar Pelangi’ adalah niat tulus pendidikan meski dalam segala keterbatasan dan kesederhanaan. Tentu bagus bila bang Vizon lebih banyak cerita lagi ttg pengalaman perintisan sekolah itu. Kini di Yogyakarta, Muhammadiyah banyak dikenal orang/masyarakat sebagai sekolah2 mahal; meskipun cukup banyak juga yg kurang terurus dan kurang berkulaitas sehingga kekurangan murid, krn masyarakat tak berminat.
    _____________________
    sekolah Muhammadiyah di Jogja identik dengan kualitas bagus dan kemewahan, sementara di daerah saya (Riau dan Sumbar), sekolah Muhammadiyah identik dg kualitas jelek dan kesengsaraan, atau dengan kata lain: memilih bersekolah di muhammadiyah adalah karena “keterpaksaan” tidak diterima di sekolah umum favorit.
    ada keinginan untuk menceritakan pengalaman perintisan sekolah itu, tapi masih saya pikir2… intinya, apa yg saya alami, tidak jauh beda dg tokoh guru dalam laskar pelangi…
  2. September 28, 2008 1:26 am
    untuk muhammadiyah saya gak bisa komen.
    di dekat rumah juga ada sekolahnya, dan dia memang berdiri dengan dana minim, mengharapkan santunan dari donatur.
    mungkin memang begitu adanya, wallahu a’lam.
    jadi film ini a must-seen movie ya, da?
    baiklah, sudah saya catat.
    *nyuruh dik pendi nyatat juga* :mrgreen:
    _____________________
    kalau pulkam, sempatkanlah menontonnya, meski di layar tancap (bukan di teather dg layar gede…hehe…). atau lewat vcd, mudah2an segera dikeluarkan, insya Allah ambo kirimkan. tp, kalau yg bajakan sih udah banyak, mau…? hehehe….
  3. September 28, 2008 2:38 am
    wow.. nice posting… menyadarkan kan kita juga betapa harus bersyukurnya kita dengan mudahnya merengkuh ilmu di kota besar dan juga mengajari kita mencintai indonesia karena ‘begitu banyak panorama-panorama yang indah’ di indonesia yang Layak untuk dibanggakan.
    _____________________
    kita memang patut berbangga dg indonesia, karena sebenarnya memang patut dibanggakan… :)
  4. Oktober 2, 2008 7:40 am
    Gw gak sempat nonton Bang, ntar kalau diputar lagi mau nonton ach
  5. Oktober 2, 2008 7:46 am
    Sebuh kisah kehidupan yang penuh liku2
    bagus banget Bang
  6. Oktober 2, 2008 7:49 am
    Semoga Muhammaddiya dan pengurusnya sadar dan terbuka mata batinya denbga adanya
    film laskar pelangi ini
    ____________________
    insya Allah banyak pihak yg terbuka matanya dg film yg penuh inspirasi ini… kita doakan… :)
  7. Oktober 7, 2008 9:53 am
    Wah..Emang film laskar cinta ny kalo menurut saya film terbagus di tahun ny..
    Film yg bagus adalah yang mengandung banyak pesan moral, mengedepankan kesederhanaan, serta mengangkat kekayaan alam dan budaya Indonesia, semua hal tersebut ada dalam film ny. Saya sangat menganjurkan siapa pun untuk menonton film ny karena sangat banyak pesan moral yang bisa kita dapatkan dibanding film2 jaman sekarang yang saya rasa kebanyakan tidak mendidik
    ____________________
    film ini mendidik…? setuju…
    tp, judulnya kan laskar pelangi, bukan laskar cinta, hayoo penggemar dewa19 ya… hahaha… :
  8. Ivan permalink
    Oktober 8, 2008 4:09 pm
    SD Muhammadiyah dlm buku dan visual di filmnya itu sebenarnya tidak separah sperti itu mas…emang msh dinding papan tetapi tidak miring sampai perlu disanggah dengan pohon biar tidak roboh.Msh ingat waktu kecil sering bermain disitu (SD Muhammadiyah yang asli di Jalan Teratai Gantung-Belitung, sekarang udah nggak ada lagi dan bangunan tsb menjadi Madrasah Tsanawiyah). Kursinya tinggi nyambung dengan mejanya (mirip mimbar di masjid). Emang kayaknya itu sekolah enggak ada perhatian dari empunya (Muhammadiyah). Yah..salut buat Andis (si Andrea/eh saya juga tdk tau kalo masa kecil dulu nama kamu Andrea..taunya aku cuma Andis dan Iron)..
    Pemandangan alamnya bagus kan? (promosi nih).
    Trims
    _____________________
    setahu saya, film memang harus didramatisir begitu, biar emosinya dapat…
    eh, berarti bang ivan ini salah satu “pelaku sejarah” dalam laskar pelangi nih…?
    wah, senang berkenalan… tapi kok gak ada url-nya?
  9. Oktober 9, 2008 6:49 am
    Hehehe ..
    kalau kita baca bukunya …
    sebetulnya ada satu kritikan lagi Uda …
    Yaitu …
    Untuk PT Timah …
    salam saya
    _____________________
    benar tuh pak…
    penggambaran pt. timah dalam kisah tersebut mestinya jadi bahan perenungan buat perusahaan2 eksplorasi di indonesia. jangan hanya mau menyedot kekayaan alam indonesia, tapi juga kudu memperhatikan sekelilingnya…
  10. Oktober 10, 2008 6:09 am
    Hai Uda
    Saya juga sudah nonton Laskar Pelangi, tapi berbeda dengan Uda, kesan yang mendalam justru saya dapatkan di film ini ketimbang Ayat-Ayat Cinta. Menurut saya Ayat-Ayat Cinta lebih mirip sinetron (ya, pastinya karena soal perbedaan fiksi dan cerita hidup seseorang).
    Laskar Pelangi adalah film Indonesia yang paling baik (yang pernah saya tonton). Dari awal sampai akhir, dia tidak mengajarkan moral secara menggurui, tapi kita sendiri yang mencernanya dan menganggapnya bahwa itu adalah moral yang harus dipelajari. Ini hebat Uda.
    AH, sebentar lagi saya juga akan tulis review-nya ah… :)
    Eniwei,
    Muhamadiyah di kota saya malah megah sekali, Uda. sekolah mahal.
    Oya,
    saya tunggu ceritanya tentang Uda yang menjadi ‘Pak Harfan’…
    _____________________
    masing2 kita punya kesan sendiri2 nonton kedua film itu, tergantung kepada emosi yg melatari kita… :)
    cerita tentang saya yg jadi “pak harfan” lagi dipertimbangkan untuk diungkap, dipilih2 dulu mana yg pantas dan tidak, karena banyak pihak yg terkait, takut menyinggung mereka… atau minta tolong lala yg bikinkan dalam bentuk fiksi ya, secara dirimu sekarang sudah jadi penulis…. hehehe…. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar